Museum Saka no Ue no Kumo (Foto: )

Museum "Saka no Ue no Kumo"

Museum sejarah yang dibangun oleh arsitektur Ando Tadao

Museum Saka no Ue no Kumo (Foto: )
Dian Retno Mayang Sari   - 3 min read

Museum Saka no Ue no Kumo merupakan bagian dari proyek yang diwujudkan oleh, pada saat itu walikota Matsuyama, Tokihiro Nakamura, yang saat ini telah menjabat sebagai Gubernur Prefektur Ehime. “Saka no Ue no Kumo” atau “Awan-awan di atas lereng” merupakan novel bersejarah Jepang yang ditulis oleh Shiba Ryotaro dan dipublikasikan secara berseri dari tahun 1968 sampai dengan 1972. Berlatar belakang pada periode Meiji, novel ini berfokus pada 3 karakter manusia dari kota Matsuyama, yaitu Akiyama Yoshifuru, seorang tentara, Kakak laki-lakinya, Akiyama Saneyuki, seorang angkatan laut dan teman mereka, penyair Haiku (Puisi Jepang yang terdiri dari tujuh belas suku kata), Masaoka Shiki. Novel tersebut bercerita tentang kehidupan mereka bertiga dari masa kecil melewati masa peperangan Sino-Jepang dan dengan puncaknya pada masa Perang Russo-Jepang pada tahun 1904-1905. Novel ini diadaptasi pula menjadi drama berseri televisi NHK selama tiga tahun yang ditayangkan sebanyak tiga belas episode dari tahun 2009 sampai dengan 2011. Seperti yang diharapkan, proyek tersebut membawa kota Matsuyama menjadi lebih diakui di kalangan masyarakat Jepang, dan kota ini menjadi lokasi yang terkenal selama masa pemutaran drama seri tersebut. Museum Saka no Ue no Kumo mempunyai beberapa ruangan pameran yang permanen terkait Matsuyama pada periode Meiji dan satu lantai yang ditujukan untuk pameran-pameran menarik serta khusus.

Permanen pameran yang menjadi favorit saya adalah koin emas, ditemukan di dalam sumur di dekat lokasi dari kamp konsentrasi tahanan Rusia, yang tertangkap pada masa perang Russo-Jepang. Pada koin tersebut terukir kasar nama seorang perawat wanita Jepang yang menjadi kekasih dari salah satu tahanan, di mana mereka menghabiskan waktu berdua mereka dalam balapan sepeda dan hiburan lainnya.

Setelah melihat semua pameran, saya terlibat perbincangan dengan salah satu pemandu sukarela,yaitu para pensiunan yang menunggu di sekitar area museum untuk menawarkan jasa pemandu mereka kepada para pengunjung. Saya mengatakan kepada seorang wanita bahwa arsitek kenamaan Ando Tadao telah melakukan perkerjaan yang mengagumkan dengan menempatkan berbagai macam barang ke dalam ruangan yang terbatas. Wanita ini, menegakkan hidungnya sedikit sembari berkata, “Sebaliknya, semuanya dipaksa ditempatkan secara bersamaan. Lihat di koridor, lihat di tangga, semuanya menjadi sempit. Ketika saya mengunjungi museum-museum di Eropa, semuanya megah, terbuka luas”. Apa yang dikatakan wanita itu memang tidak diragukan, benar. Kamu dapat dengan mudah melihat bangunan tersebut seperti gua yang gelap, tapi saya pikir banyak orang yang lebih memilih melihat bangunan tersebut seperti grotto (gua alami atau buatan percampuran dengan modernisasi, purbakala yang digunakan oleh manusia), yang tertembus oleh pancaran cahaya dari luar. Dalam pemikiran saya, kehebatan dari bangunan ini, adalah terletak pada jalan menuju Bansuiso Villa yang seolah-olah seperti batu loncatan, yang mana sebelumnya hanya berdiri sendiri, bahkan tidak bearti, terisolir dari jalan dan tidak dikunjungi. Museum Saka no Ue no Kumo terintegrasi dengan Bansuiso untuk menuju ke kota, dengan disuguhi pemandangan yang indah pada bangunannya serta halamannya, yang dapat dilihat melalui kaca-kaca besar dari dalam museum.

Permasalahan bagi para pengunjung asing adalah semua pameran menggunakan label dalam bahasa Jepang. Jika kalian tidak terlalu peduli akan arti dan isinya serta bermaksud hanya untuk menikmati apek-aspek visual dari pameran-pameran tersebut, suasana dan pemandangan yang disuguhkan oleh bangunan itu sendiri, maka Museum Saka no Ue no Kumo layak untuk dikunjungi.

Nama dalam bahasa Jepang 坂の上の雲ミュージアム saka no ue no kumo myujiamu Saka no Ue no Kumo Museum

Dian Retno Mayang Sari

Dian Retno Mayang Sari @dian.retno.mayang.sari

My 2nd home country is my-yasashi-yokoso Japan!