Katedral bela dari (Foto: )

Budokan Prefektur Ehime

Katedral Bela Diri

Katedral bela dari (Foto: )
Dian Retno Mayang Sari   - 3 min read

Memasuki Matsuyama dari barat daya, setelah melewati jembatan yang melintas di atas sungai Ishite, Anda akan melihat gedung kayu besar berbentuk tumpukan palang silang. Ini adalah budokan (gedung atau tempat seni bela diri ala Jepang) prefektur Ehime.

Dasar gedung berbentuk seperti tembok kastil dengan batu granit kasar besar dan struktur besar yang mengingatkan akan kuil atau rumah pertemuan. Memiliki atap pelana terbesar di Jepang, ditutup dengan 320.000 ubin dari Kikuma, pusat industri ubin di Ehime. Disain menggunakan kayu dalam jumlah besar untuk mendemonstrasikan kelayakan bangunan berstruktur besar dengan bahan daur ulang untuk menstimulasi hasil hutan lokal. Dan memang, gedung ini menghasilkan dorongan untuk ekonomi lokal dari hasil mensuplai bahan. 5 bulan setelah fasilitas gedung selesai, jumlah pengunjung meningkat hingga mencapai enam kali lipat. 20 kegiatan besar telah diselenggarakan di sini, termasuk satu lomba atletik internasional dan kunjungan Dalai Lama.

Area dojo (ruang tempat ahli bela diri berlatih) utama mampu mengakomodasi delapan area judo dan kendo. Gedung ini juga menyelenggarakan berbagai macam kegiatan olah raga, konser, dan acara. Tiga ribu kursi secara permanen terpasang dan dengan tambahan kursi, mencapai kapasitas maksimum hingga 6.500.

Apabila gedung itu sendiri membuat kagum, bayangkan masyarakat yang mendukungnya. Saya menantang diri sendiri pada suatu hari minggu, dan tertarik untuk melihat hutan kayu tersebut dari dalam. Dalam kamar yang lebih kecil, yang masih berupa suatu ruangan besar menurut Saya, ratusan pemain kendo sedang mengikuti ujian ahli pedang. Berpasangan, kandidat mendemonstrasikan teknik di depan meja panjang yang terdiri dari para juri, sementara pemain lain duduk diam dalam grup besar di lantai. Setiap teknik dimulai dari total keheningan, kemudian diikuti oleh gerakan cepat. Gaung dari teriakan dan hentakan kaki mengisi udara lama setelah gerakan selesai.

Pada pandangan pertama, pemain kendo terlihat seperti massa yang tidak dapat dibedakan karena memakai pakaian katun biru gelap yang sama. Akan tetapi ternyata, mereka terdiri dari lelaki dan perempuan, tua dan muda, bercampur dalam tata krama yang sangat nyaman. Ketika semua pemain berjalan, dengan pedang kayu di tangan, ke tengah ruangan untuk mendengarkan kata penutupan dari para juri, bocah kira-kira berusia 10 tahun memandang Saya, berhenti, menunduk dan berjalan, semua dalam hitungan beberapa detik. Saya tidak pernah begitu tergerak pada pengenalan singkat itu.

Setelah ujian, pemain kendo menuruni tangga dan mulai melapisi pedang untuk pulang. Dalam ruang lobi yang luas menghadap ubin besar berbentuk setan, di sana terjadi permainan pedang dadakan. Saya melihat remaja punk dengan rambut berdiri menggoda pacarnya dengan serangan pedang palsu. Sebagai seorang pemain kendo, wanita itu tidak merasa terganggu.

Apabila Anda berada di area, gedung ini sangat layak untuk dilihat. Akan tetapi akan lebih baik apabila berkunjung pada saat terdapat kegiatan, Anda akan melihat interaksi menarik antara masyarakat yang aktif dan katedral olahraga yang mereka bangun sendiri.

Dian Retno Mayang Sari

Dian Retno Mayang Sari @dian.retno.mayang.sari

My 2nd home country is my-yasashi-yokoso Japan!