“Bila sempat mendarat di Teluk Chiba, sempatkan mencicip manisnya stroberi si buah cinta,” begitu pesan Evy Syariefa SP, pemimpin redaksi Majalah Trubus, pada penulis setahun silam.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Suatu ketika penulis mendapat kesempatan tinggal di teluk tersebut selama 2 tahun. Chiba adalah kota yang dapat ditempuh 1 jam perjalanan dari Tokyo ke arah tenggara. Kota yang bermakna Kota Seribu Daun itu juga dapat ditempuh 40 menit dari Bandara Narita ke arah Barat Laut.
Pesan Evy selalu terngiang-ngiang di telinga penulis hingga sebuah kesempatan tiba di pertengahan musim gugur 2014 di pertengahan November 2014. Kazuya Shirai, pegawai di Kantor Walikota Chiba, mengundang penulis menghabiskan akhir pekan ke kebun stroberi Yokoto Farm.
Itu nama sebuah kebun wisata milik pribadi yang terletak 19 km ke arah tenggara dari pusat Kota Chiba. Tepatnya di sebuah wilayah di luar Kota Chiba yaitu di 1048 Hirayamacyo, Midoriku, Chibashi, Chibaken, Japan.
Stroberi dalam kebudayaan Yunani kuno simbol Afrodit si Dewi Cinta karena kecantikannya. Tengok saja bentuk dan warna di bagian luar serta lezatnya daging buah stroberi di dalam. Sederhananya stoberi menggiurkan: cantik, feminim, sensitif, dan manis layaknya Dewi Cinta.
Di Yokota Farm penulis pertamakali memetik ichigo—sebutan stroberi di Jepang—langsung dari kebun terbuka di Negeri Matahari terbit. Rasanya? Seperti yang Evy Syariefa kisahkan setahun lalu: manis dan segar.
Padahal buah yang dicicip di musim gugur adalah sisa panen musim dingin, semi, dan panas sebelumnya. “Silahkan datang lagi nanti di awal musim dingin atau musim semi. Kami sudah persiapkan stroberi terbaik untuk Anda dari kebun terbaik,” kata Fumito Yokota, pemilik kebun, sambil tersenyum. Ya, penulis sempat bingung karena hamparan kebun stroberi yang terlihat mata hanya di lahan terbuka dengan teknologi irigasi tetes yang sering dilihat di tanah air.
Melihat wajah kebingungan itu Yokota menyeret penulis ke seberang jalan yang terlindung pagar hidup bunga Camelia Sp. Di sana 2 greenhouse ukuran 1800 m2 dan 900 m2 tegak berdiri. Di dalamnya 20.000 tanaman stroberi—yang ditanam dengan sistem hidroponik—menyambut dengan daun yang hijau subur. Beberapa sulur yang belajar berbuah mulai pamer buah putih, merah muda, dan sebagian memerah.
“Cari yang sudah matang di antara buah muda,” kata Yokota. Begitu buah matang diperoleh rasa stroberi supermanis tercecap. Nuansa manisnya berbeda dengan stroberi serupa yang pernah dicicip di Lembang, Bandung atau di Batu, Malang. Di 2 lokasi di tanah air stroberi rasanya manis, segar, tetapi masih berpadu sedikit rasa asam.
Menurut Dr Reza Tirtawinata, ahli buah di Bogor, Jawa Barat, stroberi Jepang terasa lebih manis karena varietas yang ditanam unggul serta lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan.
Maklum, stroberi yang ditanam Yokota adalah varietas hibrid. Pun stroberi ditanam di dataran rendah dengan sinar matahari cukup sehingga laju fotosintesis optimal. Sistem hidroponik yang diterapkan juga membuat pasokan nutrisi tersedia. Beda dengan stroberi yang ditanam di tanah air yang umumnya di tanam di pegunungan sehingga sinar matahari kerap terhalang awan.
Menurut Yokota, greenhouse itu dipersiapkan untuk panen musim dingin yang jatuh pada Januari—Maret 2015. “Di musim dingin pengunjung datang khusus untuk memetik sroberi. Sementara di musim panas dan musim gugur untuk memetik buah ara dan beragam sayuran,” kata Yokota. Sebagai contoh di sepanjang musim dingin 2014 pengunjung membludak setiap akhir pekan dengan jumlah rata-rata 200 orang.
Dengan hanya membayar 1800 Yen per orang—setara Rp180.000—mereka boleh memetik stroberi sepuasnya selama 30 menit. Sementara bila ingin membawa pulang, mereka harus membayar 1300 Yen untuk setiap kg stroberi.
Menurut Evy Syariefa, di segala penjuru dunia stroberi memang menjadi buah yang penuh daya Tarik. Terutama bila dijadikan wisata petik kebun. Musababnya bentuk stroberi yang seperti hati sangat menarik. Pun rasanya yang manis menyegarkan membuat siapa saja terpikat. Tertarik mencicip buah cinta di Negeri Seribu Daun?