Untungnya, setelah kurang lebih satu dekade, Odaiba berkembang sebagai wilayah hiburan. Disebut-sebut sebagai baterai raksasa yang mempertahankan Tokyo pada Zaman Edo dari serangan luar (istilahnya adalah "daibas"), percobaan untuk mengubah nama area ini menjadi sesuatu yang lebih bersifat pariwisata ("Tokyo Teleport Town" dan "Rainbow Town" alias "Kota Pelangi" adalah dua nama alternatif lainnya) selalu gagal sehingga area ini pun tumbuh dengan sebutan Odaiba. Fuji TV adalah bisnis terbesar yang bergerak di wilayah ini, lengkap dengan studio berseni tinggi yang didesain oleh Tange Kenzo, lalu ada pusat perbelanjaan Decks Tokyo Beach yang buka untuk menambah pilihan hiburan di Odaiba.
Odaiba sebenarnya cukup terpisah dari ingar-bingar Tokyo. Saya menyukai keduanya, namun untuk kehidupan dan sejarah Tokyo yang lebih ngena, bagi saya Odaiba adalah semilir angin segar di tengah lautan abu-abu. Jalur-jalur papan kayu, taman-taman, dan kincir-kincir ria yang ada di sini memancarkan kesan resor pantai yang sangat kuat, dan canggih dalam waktu yang bersamaan (kunjungi Miraikan, museum ilmu pengetahuan dan inovasi). Sejarahnya, yang kadang kurang begitu banyak, memiliki kualitas yang ganjil. Sebenarnya tidak begitu baik, dan agak dibuat-buat, apalagi menjelang musim liburan, ketika semua bisnis di pulau ini berusaha untuk tampil maksimal untuk melengkapi perayaan. Meski demikian, masih sangat mudah untuk mencari ketenangan di pantai, berpiknik di Daibas, menaiki feri melintasi teluk, atau mengunjungi salah satu taman dan tempat bermain.
Ini bukan berarti Odaiba tidak berkembang—pembangunan Odaiba akan selesai nantinya, dan ketika saat itu tiba, akan banyak lahan-lahan hijau dan pemandangan memukau yang hanya menjadi bagian dari sejarah. Bagaimanapun, pada tahun 90an semua ini masih hanya berupa lapangan kosong dan situs konstruksi, beserta lempengan konkret dan dermaga-dermaga. Hampir tidak ada orang yang tinggal di sini. Sebuah foto dari sebuah jalur pejalan kaki di bagian selatan Rainbow Bridge menampilkan Odaiba pada tahun 1994, dengan sekumpulan crane dan tumpukan beton yang membuatnya terlihat seperti baru diguncang gempa bumi, bukannya sebuah "kota masa depan". Tapi setelah dua puluh tahun, bisnis-bisnis seperti menelan lahan-lahan hijau yang tersisa. Tanah adalah uang, dan memang sudah takdirnya bagi lahan-lahan kosong di kota-kota seperti Tokyo untuk terus diisi. Odaiba yang saya pernah tahu, dan saya cintai, selalu berubah tiap kali saya berkunjung ke Tokyo. Kadang menjadi lebih baik, kadang menjadi lebih buruk. Namun bagi saya, pulau buatan ini tidak pernah kehilangan nuansa penuh misteri serta terus menyimpan kejutan yang tidak akan bisa saya tebak.
Lebih banyak