Nagoya Travellers Hostel tampak dari luar (Foto: )

Nagoya Travellers Hostel

Menginap di tempat yang penuh dengan kehangatan

Nagoya Travellers Hostel tampak dari luar (Foto: )
Khoirunnisa Wirdaningrum   - 5 min read

“For the two of us, home isn’t a place. It’s a person. And we are home.”

Tidaklah berlebihan mengutip kalimat di atas untuk menggambarkan kegembiraan saya terdampar di Nagoya Travellers Hostel. Sebuah tempat yang mempersilakan siapa saja yang sedang hanyut dalam perjalanannya dengan hangat.

Kisah terdamparnya saya di tempat ini diawali dengan sebuah tragedi. Pada suatu hari yang cerah di awal bulan Mei, saya bersama seorang teman pergi berpindah kota dari Kyoto menuju Takayama. Saya sudah memesan bis pukul 4 sore d hari itu yang akan membawa kami berdua dari Stasiun Nagoya ke Takayama. Namun takdir berkata lain, karena beberapa masalah yang kami temui di sepanjang perjalanan, kami ketinggalan bis tersebut dan tidak ada bis selanjutnya yang dapat kami tumpangi dikarenakan padatnya laju penumpang di kala musim liburan saat itu.

Sangat tidak karuan perasaan kami. Kami berdua hanya terduduk letih di salah satu bangku di stasiun sambil memikirkan alternatif yang harus kami ambil mengingat saat itu hari semakin gelap. Segera kami memutuskan untuk mencari penginapan di Nagoya melalui browser di handphone kami masing-masing. Jatuhlah pandangan kami pada sebuah tempat yang nampak apik dengan harga yang terjangkau. Dikatakan pula di website itu bahwa jumlah kamar yang tersedia hanya tinggal dua kamar saja dan hostel tersebut baru saja dibuka beberapa bulan terakhir. Mengingat jaraknya yang hanya dua stasiun saja dari Stasiun Nagoya kami memutuskan "ya, kenapa tidak kita coba lihat saja dulu".

Akhirnya melangkahlah kami kami di Nagoya, kota terbesar di wilayah Chubu. Kami melakukan pemberhentian di Stasiun Sakae dan berjalan kaki sekitar 15 menit menuju bangunan tingkat empat dengan cat putih gading yang di depannya terparkir banyak sepeda. Terlihat papan nama besar dengan tulisan "hostel" dan papan nama berukuran lebih kecil dengan tulisan "Nagoya Travellers Hostel". Saat kami memasuki bangunan tersebut, segera kami disambut dengan jejeran sandal karet warna merah jambu dan ungu. Tamu yang datang diharuskan untuk mengganti alas kakinya dengan sandal dalam balutan warna menggemaskan tersebut.

Kami langsung menghampiri resepsionis dan mencari tahu kamar yang bisa kami tempati untuk malam itu. Betapa kagetnya setelah memberikan data diri, kami langsung diajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia oleh salah satu stafnya. Nama staf tersebut adalah Ayumi Komi. Ia memiliki seorang saudara di Bali dan dari saudaranya itulah ia dapat berbahasa Indonesia meskipun tidak fasih.

Seluruh staff di sana sangat baik, namun Ayumi berbeda. Ayumi sangat istimewa. Layaknya mesin yang diamunisi oleh cadangan baterai yang tak pernah habis, Ayumi sangat enerjik. Ayumi senang berlalu-lalang menyapa seluruh tamunya dengan bahasa asal tamu tersebut. Ia tidak segan untuk mempelajari kebudayaan setempat asal tamu yang ia temui. Ayumi kenal semua orang dan begitu pula semua orang mengenalnya.

Ayumi mengantarkan kami ke kamar nomor 202. Sebuah kamar dengan dua kasur bertingkat yang hanya kami tempati berdua. Nagoya Travellers Hostel baru beroperasi pada Maret 2015 sehingga semuanya terasa baru. Ada aroma kayu yang baru dipelitur dari kayu bunk bed, sirkulasi udaranya terasa bersih, temboknya pun memiliki aroma seperti habis dicat. Suasana yang sungguh menyegarkan.

Tamu yang menginap diharuskan untuk memasang sprei dan sarung bantal sendiri dan mengembalikannya ke kantong cucian berwarna hijau di dekat tangga jika akan check out dari hostel. Di tiap tempat tidur disediakan colokan listrik yang telah dilengkapi lampu baca dan colokan USB. Kamar mandinya pun sangat bersih, begitu pula toiletnya. Ada loker di tiap kamar untuk menyimpan barang-barang yang dianggap penting.

Dikarenakan lokasinya yang terletak di daerah hiburan malam, ada banyak pub, bar, dan restoran yang sangat hingar bingar di kala malam tiba. Tidak sulit bagi kami untuk menemukan makanan enak di sekitar sana mengingat banyaknya restoran dan kafe, mulai dari restoran yang menyajikan masakan barat, Turki, China, dan bahkan masakan Bali! Saat meminta rekomendasi tempat makan, Ayumi menunjukan beberapa tempat melalui peta raksasa yang ada di common area. Peta tersebut memiliki banyak informasi yang ditandai tinta hitam dan merah sehingga tamu-tamu dapat memutuskan tempat di sekitar hostel yang ingin dikunjungi.

Pada saat pagi tiba, Nagoya Travellers Hostel menyediakan sarapan yang bisa dinikmati mulai pukul 8 hingga 10 pagi. Menu sarapan yang disajikan adalah roti panggang dengan mentega, selai strawberry, selai jeruk, yang dapat dinikmati bersama teh atau kopi. Para tamu juga diizinkan memasak di dapur jika membawa bahan makanannya sendiri. Dapur dan ruang makannya menyatu menjadi area terbuka yang biasa dijadikan tempat bertemu para tamu dan staf hostel sembari asyik makan dan minum.

Di hari terakhir, kami menitipkan barang bawaan kami di ruang penyimpanan sebelum check out. Kami ingin berkeliling di sekitar kota dengan leluasa sebelum bertolak ke Tokyo dengan Willer Bus di malam hari. Saat menjelang sore, kami kembali ke hostel untuk mengambil barang-barang yang dititipkan. Tidak hanya disambut kembali dengan senyuman yang ramah, para staf juga mempersilakan kami untuk menyegarkan badan dengan mandi air hangat sebelum perjalanan panjang kami ke Tokyo.

Setelah menanggalkan ras lelah di badan dengan basuhan air hangat, Ayumi menemui kami dan memberikan dua buah gantungan kunci serta dua buah pelukan hangat sebagai tanda perpisahan. Tidak sekedar memberikan pelayanan yang sangat istimewa, Nagoya Travellers Hostel juga memberikan makna tersendiri kepada sebuah persahabatan baru. Sungguh sebuah tragedi manis yang patut dikenang selamanya.

Khoirunnisa Wirdaningrum

Khoirunnisa Wirdaningrum @khoirunnisa.wirdaningrum

A little living wanderer wandering around one place to another.